Ya ini adalah renungan orang hidup tentang kehidupan karena orang mati sudah tidak bisa merenung hahaha.. Baiklah, sebenarnya seperti apakah Hidup itu?
Hidup itu seperti Uap, yang sebentar saja kelihatan, lalu lenyap!
Ketika orang memuji MILIKKU, aku berkata bahwa ini HANYA TITIPAN saja.
Bahwa mobilku adalah titipanNya,
Bahwa rumahku adalah titipanNya,
Bahwa hartaku adalah titipanNya,
Bahwa putra-putriku hanyalah titipanNya...
Tapi mengapa aku tidak pernah bertanya, MENGAPA DIA menitipkannya kepadaku? UNTUK APA DIA menitipkan semuanya kepadaku.
Dan kalau bukan milikku, apa yang seharusnya aku lakukan untuk milikNya ini?
Mengapa hatiku justru terasa berat ketika titipannya itu diminta kembali olehNya?
Malahan ketika diminta kembali,
kusebut itu MUSIBAH,
kusebut itu UJIAN,
kusebut itu PETAKA,
kusebut itu apa saja, untuk melukiskan semua itu adalah DERITA...
ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan kebutuhan Duniawi,
Aku ingin lebih banyak HARTA,
Aku ingin lebih banyak MOBIL,
Aku ingin lebih banyak RUMAH,
Aku ingin lebih banyak POPULARITAS,
Dan kutolak SAKIT, Kutolak KEMISKINAN,
Seolah KEADILAN dan KASIHNYA, harus berjalan seperti penyelesaian matematika dan sesuai dengan kehendakku.
Aku rajin beribadah, maka selayaknya derita itu menjauh dariku, Dan nikmat dunia seharusnya menghampiriku..
Betapa curangnya aku, kuperlakukan Dia seolah bisnis partnerku dan bukan sebagai Kekasih!
Kuminta Dia membalas perlakuan baikku dan menolak keputusanNya yang tidak sesuai dengan keinginanku.
Duh Tuhan..
Padahal setiap hari kuucapkan, Hidup dan matiku, hanya untukMu
Ya Tuhan, Ampuni Aku, Ya Tuhan.
Mulai hari ini, ajari aku agar menjadi pribadi yang selalu bersyukur dalam setiap keadaan, dan menjadi bijaksana, mau menuruti kehendakMu saja ya Tuhan...
Sebab aku yakin Engkau akan memberi anugerah dalam hidupku,
KehendakMu adalah yang terbaik bagiku...
Ketika aku ingin hidup Kaya, aku lupa, bahwa hidup itu sendiri adalah sebuah kekayaan.
Ketika aku berat untuk Memberi, aku lupa, bahwa Semua yang aku miliki juga adalah PEMBERIAN.
Ketika aku ingin menjadi yang Terkuat, aku lupa, bahwa dalam KELEMAHAN, Tuhan memberikan aku KEKUATAN.
Ketika aku takut rugi, aku lupa, bahwa hidupku adalah sebuah KEBERUNTUNGAN, karena AnugerahNya
Ternyata hidup ini sangat indah, Ketika aku selalu BERSYUKUR kepadaNya.
Bukan karena hari ini indah, aku Bahagia - Tetapi karena aku BAHAGIA, maka hari ini menjadi Indah.
Bukan tak ada RINTANGAN maka aku menjadi OPTIMIS - Tetapi karena aku optimis, maka RINTANGAN akan menjadi tak terasa.
Bukan karena MUDAH aku YAKIN BISA - Tetapi karena aku YAKIN BISA, maka semuanya menjadi MUDAH.
Bukan karena semua Baik lalu aku tersenyum - Tetapi karena aku tersenyum, maka semua menjadi BAIK.
Tak ada hari yang MENYULITKAN aku, kecuali aku SENDIRI yang membuat SULIT.
Bila aku tidak dapat menjadi jalan besar, cukuplah menjadi JALAN SETAPAK yang dilalui orang.
--- Dikutip dari Buku Meditasi Toilet, Ariesandi, S., Cht
Saturday, December 13, 2025
Wednesday, December 03, 2025
Body, Soul and Mind.
Dalam satu tahun terakhir, saya menangani klaim sakit kritis dari klien saya — satu di antaranya divonis kanker lambung, yang lain harus menjalani operasi bypass jantung. Tulisan ini bukan tentang perlindungan asuransi atau proses klaim — dua hal yang sejauh ini, selalu beres selama prosedur sesuai ketentuan perusahaan.
Yang ingin saya SOROT adalah: ketika mereka mendengar diagnosa itu, reaksi mereka sama persis — “Ya ampun, kok bisa? Saya sudah 55 tahun, gak pernah rawat inap kecuali waktu melahirkan …” atau “Saya makan sehat, rutin olahraga, hidup bersih — masa bisa kena sakit jantung?”
Saya bukan dokter — saya hanyalah orang layanan, bukan ahli medis. Tapi pertanyaan mereka terus menghantui saya. Kenapa orang sehat, yang menjalani hidup bersih, bisa tiba-tiba mendapat pukulan penyakit berat?
Jawabannya (setidaknya menurut saya) saya temukan dalam buku Healing and Recovery karya David R. Hawkins. Dalam buku ini dikemukakan ide radikal: tubuh fisik bisa menjadi cerminan dari kondisi mental dan spiritual kita. Emosi negatif yang “tertahan” — misalnya rasa bersalah, ketakutan, amarah, stres — bisa bertransformasi menjadi penyakit di level fisik.
Hawkins memberi gambaran bahwa manusia bukan hanya sekedar “tubuh”. Kita adalah gabungan dari Body, Soul and Mind — dan ketiganya berinteraksi. Jika salah satunya terguncang: mental, emosi, atau spirit — dampaknya bisa muncul bertahun-tahun kemudian, dalam bentuk penyakit serius.
Jadi, di luar disiplin medis dan gaya hidup sehat: kita harus menyadari bahwa kesehatan sejati butuh keseimbangan dan pembersihan di level batin dan pikiran. Stress, trauma, beban emosional yang tidak terselesaikan — jangan dianggap remeh. Lukanya mungkin tak kelihatan sekarang, tapi bisa menanti kesempatan untuk “meledak” di tubuh.
Kalau kita terus mengabaikan hal ini — ya, kita seperti berjalan di atas gunung berapi: hari ini tampak normal, tapi bisa saja meledak kapan saja.
Kalau kamu membaca ini dan merasa “ya, mungkin ada hal yang belum aku selesaikan dalam batin/pikiran/spirit” — pertimbangkan untuk berhenti dulu sejenak. Ambil waktu bersih-bersih emosi, refleksi, dan jaga keseimbangan inner world — sebelum sempat menghantam tubuh kita.
Salam menjaga keseimbangan — Tubuh, Jiwa dan Pikiran.
Yang ingin saya SOROT adalah: ketika mereka mendengar diagnosa itu, reaksi mereka sama persis — “Ya ampun, kok bisa? Saya sudah 55 tahun, gak pernah rawat inap kecuali waktu melahirkan …” atau “Saya makan sehat, rutin olahraga, hidup bersih — masa bisa kena sakit jantung?”
Saya bukan dokter — saya hanyalah orang layanan, bukan ahli medis. Tapi pertanyaan mereka terus menghantui saya. Kenapa orang sehat, yang menjalani hidup bersih, bisa tiba-tiba mendapat pukulan penyakit berat?
Jawabannya (setidaknya menurut saya) saya temukan dalam buku Healing and Recovery karya David R. Hawkins. Dalam buku ini dikemukakan ide radikal: tubuh fisik bisa menjadi cerminan dari kondisi mental dan spiritual kita. Emosi negatif yang “tertahan” — misalnya rasa bersalah, ketakutan, amarah, stres — bisa bertransformasi menjadi penyakit di level fisik.
Hawkins memberi gambaran bahwa manusia bukan hanya sekedar “tubuh”. Kita adalah gabungan dari Body, Soul and Mind — dan ketiganya berinteraksi. Jika salah satunya terguncang: mental, emosi, atau spirit — dampaknya bisa muncul bertahun-tahun kemudian, dalam bentuk penyakit serius.
Jadi, di luar disiplin medis dan gaya hidup sehat: kita harus menyadari bahwa kesehatan sejati butuh keseimbangan dan pembersihan di level batin dan pikiran. Stress, trauma, beban emosional yang tidak terselesaikan — jangan dianggap remeh. Lukanya mungkin tak kelihatan sekarang, tapi bisa menanti kesempatan untuk “meledak” di tubuh.
Kalau kita terus mengabaikan hal ini — ya, kita seperti berjalan di atas gunung berapi: hari ini tampak normal, tapi bisa saja meledak kapan saja.
Kalau kamu membaca ini dan merasa “ya, mungkin ada hal yang belum aku selesaikan dalam batin/pikiran/spirit” — pertimbangkan untuk berhenti dulu sejenak. Ambil waktu bersih-bersih emosi, refleksi, dan jaga keseimbangan inner world — sebelum sempat menghantam tubuh kita.
Salam menjaga keseimbangan — Tubuh, Jiwa dan Pikiran.
Kenyataan di Balik Persepsi!
Kemarin di kantor, saya cuma tersenyum ketika seseorang bilang: “Wah, enak ya, badanmu langsing terus.” Mereka lihat bentuk — bukan proses.
Begitu juga dengan pilihan karier: banyak yang bilang, “Asyik ya, kerjanya fleksibel, pendapatannya nggak sedikit.” Tapi saat saya tawarkan jalan itu ke mereka, tiba-tiba ribuan alasan muncul.
Itulah ironi: semua ingin hasil instan, tanpa mau melihat kerja keras di baliknya. Padahal, setiap prestasi besar — pribadi sehat, karier bagus, penghasilan layak — selalu diawali dari keputusan untuk berubah dan bertindak.
Kalau kamu saat ini masih nyaman dengan status quo, ingat: perubahan sejati hanya datang pada mereka yang mau lahirkan usaha nyata — bukan sekadar berharap. Yukk action! 😊😇😉
Begitu juga dengan pilihan karier: banyak yang bilang, “Asyik ya, kerjanya fleksibel, pendapatannya nggak sedikit.” Tapi saat saya tawarkan jalan itu ke mereka, tiba-tiba ribuan alasan muncul.
Itulah ironi: semua ingin hasil instan, tanpa mau melihat kerja keras di baliknya. Padahal, setiap prestasi besar — pribadi sehat, karier bagus, penghasilan layak — selalu diawali dari keputusan untuk berubah dan bertindak.
Kalau kamu saat ini masih nyaman dengan status quo, ingat: perubahan sejati hanya datang pada mereka yang mau lahirkan usaha nyata — bukan sekadar berharap. Yukk action! 😊😇😉
Monday, November 17, 2025
Kesalahan Bukan Berarti Akhir Dunia!
Untuk kalian para pembelajar dan perfeksionis muda, mari kita hadapi kenyataan ini: satu kesalahan, satu kegagalan, atau bahkan satu 'kebodohan' bukanlah hari kiamat!
Ironisnya, bagi sebagian dari kita, memaafkan diri sendiri atas kekurangan atau blunder justru jauh lebih sulit daripada memaafkan orang lain. Pola pikir yang sering muncul adalah: "Saya lebih kompeten, kenapa saya bisa salah?"
Waspadalah! Pola pikir ini adalah ciri khas dari "Fixed Mindset" yang menghambat pertumbuhan. Pola pikir ini menuntut kesempurnaan dan menjadikan kesalahan sebagai bukti ketidaklayakan.
🗺 Belajarlah dari Google Maps
Bayangkan ini: Ketika Anda sedang berkendara menggunakan Google Maps dan Anda salah belok. Apa yang dilakukan sistem navigasi?
Apakah sistem berteriak, "Dasar bodoh! Kenapa kamu salah belok?" Tentu tidak.
Sistem hanya berkata: "Rerouting..."
Sistem tidak menilai, tidak menghakimi. Ia hanya menyajikan alternatif baru—jalan baru yang mungkin justru lebih baik.
✨ Filosofi Rerouting dalam Hidup
Rerouting dalam hidup bukan berarti kegagalan. Ia mungkin saja menyelamatkan kita dari 'kemacetan' atau 'kecelakaan' di jalur lama.
Rerouting membuka mata kita pada pemandangan, kesempatan, dan pelajaran baru yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Ketahuilah, Sobat: Orang yang paling banyak bertindak adalah orang yang paling mungkin membuat kesalahan. Tetapi, orang itulah juga yang paling banyak belajar, tumbuh, dan menjadi mahir.
Jangan biarkan satu atau dua kesalahan menghentikan perjuangan Anda. Kesalahan adalah bagian alami dari proses menjadi sempurna.
Ingatlah selalu: Practice Makes Perfect. Dan praktik, tidak pernah lepas dari error dan rerouting!
Ayo, reroute pikiranmu hari ini, dan lanjutkan perjalananmu!
Ironisnya, bagi sebagian dari kita, memaafkan diri sendiri atas kekurangan atau blunder justru jauh lebih sulit daripada memaafkan orang lain. Pola pikir yang sering muncul adalah: "Saya lebih kompeten, kenapa saya bisa salah?"
Waspadalah! Pola pikir ini adalah ciri khas dari "Fixed Mindset" yang menghambat pertumbuhan. Pola pikir ini menuntut kesempurnaan dan menjadikan kesalahan sebagai bukti ketidaklayakan.
🗺 Belajarlah dari Google Maps
Bayangkan ini: Ketika Anda sedang berkendara menggunakan Google Maps dan Anda salah belok. Apa yang dilakukan sistem navigasi?
Apakah sistem berteriak, "Dasar bodoh! Kenapa kamu salah belok?" Tentu tidak.
Sistem hanya berkata: "Rerouting..."
Sistem tidak menilai, tidak menghakimi. Ia hanya menyajikan alternatif baru—jalan baru yang mungkin justru lebih baik.
✨ Filosofi Rerouting dalam Hidup
Rerouting dalam hidup bukan berarti kegagalan. Ia mungkin saja menyelamatkan kita dari 'kemacetan' atau 'kecelakaan' di jalur lama.
Rerouting membuka mata kita pada pemandangan, kesempatan, dan pelajaran baru yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Ketahuilah, Sobat: Orang yang paling banyak bertindak adalah orang yang paling mungkin membuat kesalahan. Tetapi, orang itulah juga yang paling banyak belajar, tumbuh, dan menjadi mahir.
Jangan biarkan satu atau dua kesalahan menghentikan perjuangan Anda. Kesalahan adalah bagian alami dari proses menjadi sempurna.
Ingatlah selalu: Practice Makes Perfect. Dan praktik, tidak pernah lepas dari error dan rerouting!
Ayo, reroute pikiranmu hari ini, dan lanjutkan perjalananmu!
Monday, November 10, 2025
Hentikan Drama Korban! Kebahagiaan Sejati Ada di Genggamanmu.
Minggu lalu, sebuah pesan singkat mampir ke kotak masuk saya. Isinya menusuk, "Tri, sebutkan dua momen paling membahagiakan dalam hidupmu saat ini."
Seandainya pertanyaan ini datang tiga tahun lalu, jawaban saya mungkin klise: berhasil promosi jabatan, mendapatkan bonus besar, atau liburan mewah bersama keluarga. Intinya, hal-hal yang 'terjadi' pada saya.
Namun, setelah menyelami ilmu pengetahuan dan refleksi diri, pertanyaan selanjutnya kini jauh lebih menarik: Apa sebenarnya kebahagiaan itu, dan bagaimana kita bisa MENCIPTAKANNYA?
Banyak dari kita masih terjebak dalam pemikiran usang: "Jika saya mendapatkan apa yang saya inginkan, barulah saya bahagia."
Coba jujur, bukankah ini berarti kebahagiaan kita sepenuhnya bergantung pada faktor eksternal? Hal-hal yang berada di luar kendali kita? Itu tandanya kita sedang bermain dalam lotre takdir, dan kita sedang mempertaruhkan kedamaian batin kita pada orang lain, pada perusahaan, atau pada keadaan pasar!
Panggungmu, Kendalimu!
Bayangkan skenario ini: Anda sudah yakin akan dipromosikan, tapi ternyata tidak terjadi. Atau Anda sudah menghitung-hitung bonus tahunan, tapi mendadak tidak cair karena alasan tak terduga.
Di momen kehancuran ekspektasi seperti itu, bisakah kita tetap bahagia?
Jawabannya: YA, BISA!
Jika kebahagiaan Anda masih diikat oleh hasil eksternal (promosi, bonus, pengakuan), Anda sesungguhnya sedang menempatkan diri pada posisi sebagai korban abadi. Anda menyerahkan kekuasaan Anda untuk merasa baik kepada hal-hal yang bisa hilang kapan saja.
Teman, sudah saatnya kita berhenti berpikir bahwa kita hanyalah daun kering yang ditiup angin keadaan!
Kebahagiaan sejati, menurut para ahli, bukanlah tentang apa yang terjadi pada Anda, melainkan respon apa yang Anda berikan terhadap apa yang terjadi. Kebahagiaan adalah tentang perasaan puas dan bermakna yang Anda ciptakan dari dalam, terlepas dari kekacauan di luar.
Mari kita bangun kesadaran diri. Berhenti menyalahkan nasib. Sekarang juga, sadari keberadaanmu dan fokuskan energimu hanya pada satu hal: Mengendalikan apa yang benar-benar bisa kamu kendalikan.
Siap mengambil kembali kendali atas kebahagiaanmu? Tinggalkan peran korban dan mulai hidup sebagai sutradara kehidupanmu sendiri!
Seandainya pertanyaan ini datang tiga tahun lalu, jawaban saya mungkin klise: berhasil promosi jabatan, mendapatkan bonus besar, atau liburan mewah bersama keluarga. Intinya, hal-hal yang 'terjadi' pada saya.
Namun, setelah menyelami ilmu pengetahuan dan refleksi diri, pertanyaan selanjutnya kini jauh lebih menarik: Apa sebenarnya kebahagiaan itu, dan bagaimana kita bisa MENCIPTAKANNYA?
Banyak dari kita masih terjebak dalam pemikiran usang: "Jika saya mendapatkan apa yang saya inginkan, barulah saya bahagia."
Coba jujur, bukankah ini berarti kebahagiaan kita sepenuhnya bergantung pada faktor eksternal? Hal-hal yang berada di luar kendali kita? Itu tandanya kita sedang bermain dalam lotre takdir, dan kita sedang mempertaruhkan kedamaian batin kita pada orang lain, pada perusahaan, atau pada keadaan pasar!
Panggungmu, Kendalimu!
Bayangkan skenario ini: Anda sudah yakin akan dipromosikan, tapi ternyata tidak terjadi. Atau Anda sudah menghitung-hitung bonus tahunan, tapi mendadak tidak cair karena alasan tak terduga.
Di momen kehancuran ekspektasi seperti itu, bisakah kita tetap bahagia?
Jawabannya: YA, BISA!
Jika kebahagiaan Anda masih diikat oleh hasil eksternal (promosi, bonus, pengakuan), Anda sesungguhnya sedang menempatkan diri pada posisi sebagai korban abadi. Anda menyerahkan kekuasaan Anda untuk merasa baik kepada hal-hal yang bisa hilang kapan saja.
Teman, sudah saatnya kita berhenti berpikir bahwa kita hanyalah daun kering yang ditiup angin keadaan!
Kebahagiaan sejati, menurut para ahli, bukanlah tentang apa yang terjadi pada Anda, melainkan respon apa yang Anda berikan terhadap apa yang terjadi. Kebahagiaan adalah tentang perasaan puas dan bermakna yang Anda ciptakan dari dalam, terlepas dari kekacauan di luar.
Mari kita bangun kesadaran diri. Berhenti menyalahkan nasib. Sekarang juga, sadari keberadaanmu dan fokuskan energimu hanya pada satu hal: Mengendalikan apa yang benar-benar bisa kamu kendalikan.
- Kendali Penuh Atas Pikiranmu: Bagaimana kamu memilih menafsirkan kegagalan.
- Kendali Penuh Atas Usahamu: Seberapa keras kamu bekerja hari ini.
- Kendali Penuh Atas Responmu: Bagaimana kamu bereaksi terhadap kabar buruk.
Siap mengambil kembali kendali atas kebahagiaanmu? Tinggalkan peran korban dan mulai hidup sebagai sutradara kehidupanmu sendiri!
Friday, October 31, 2025
Who you become in the process of your Success?
Pelajaran yang saya petik ketika membaca buku Healing & Recovery dari penulis dr. David R Hawkins adalah bahwa kita mempunyai pilihan, dan kita bukanlah korban. Cara untuk keluar dari posisi korban adalah memilih untuk naik dari dasar peta kesadaran (Map of Consciousness) dan menyadari bahwa situasinya bukanlah tanpa harapan. Hanya dengan edukasi, mendengar dan mengetahui tentang masalah itu, kita mulai menyadari bahwa hidup bukanlah tanpa harapan.
Jika kita sekarang melihat Peta kesadaran dari sudut pandang yang sedikit berbeda, orang-orang di level kesadaran yang lebih rendah menghargai hidup dan menilai diri mereka dan orang lain berdasarkan apa yang mereka miliki. Karena selaras dengan upaya bertahan hidup, "Memiliki" menjadi penting.
Naik ke bagian tengah Peta, semakin dekat dengan kebenaran dan keberanian, ada medan energi yang melihat hidup sebagai kesempatan. Ada pusat energi yang kuat di level ini, tempat apa yang kita "lakukan" itulah yang penting. "Melakukan" sangat penting, dan apa yang kita lihat sebagai penyebab. Kita menjadi penting karena apa yang kita lakukan, karena itu ada penekanan besar pada perbuatan.
Sebaliknya kita ingin menilai perbuatan sebagai akibat, bukan penyebab. Apa yang kita perbuat berasal dari apa yang kita Yakini dalam pikiran, atau pola keyakinan; sehingga perbuatan adalah akibat, atau hasil bukan penyebab.
Bukan karena bermain tenis kita bergembira dan sehat; kita bergembira dan sehat sehingga kita mengekspresikan kegembiraan dari gairah hidup kita dengan bermain tenis. Karena itu, pentingnya "melakukan" mulai memudar Ketika level kesadaran kita meningkat.
Ketika kita semakin dekat dengan kesadaran tentang "Siapa sejatinya" kita, maka "Siapa sejatinya" kitalah yang penting. Ketika hidup kita mengalami kemajuan, yang terpenting bagi kita adalah "menjadi seperti apa diri" kita.
"The only thing that is truly significant about today, or any other day, is who you become in the process" - Joshua Metcalf, Page 6, from the book "Chop Wood Carry Water".
Jika kita sekarang melihat Peta kesadaran dari sudut pandang yang sedikit berbeda, orang-orang di level kesadaran yang lebih rendah menghargai hidup dan menilai diri mereka dan orang lain berdasarkan apa yang mereka miliki. Karena selaras dengan upaya bertahan hidup, "Memiliki" menjadi penting.
Naik ke bagian tengah Peta, semakin dekat dengan kebenaran dan keberanian, ada medan energi yang melihat hidup sebagai kesempatan. Ada pusat energi yang kuat di level ini, tempat apa yang kita "lakukan" itulah yang penting. "Melakukan" sangat penting, dan apa yang kita lihat sebagai penyebab. Kita menjadi penting karena apa yang kita lakukan, karena itu ada penekanan besar pada perbuatan.
Sebaliknya kita ingin menilai perbuatan sebagai akibat, bukan penyebab. Apa yang kita perbuat berasal dari apa yang kita Yakini dalam pikiran, atau pola keyakinan; sehingga perbuatan adalah akibat, atau hasil bukan penyebab.
Bukan karena bermain tenis kita bergembira dan sehat; kita bergembira dan sehat sehingga kita mengekspresikan kegembiraan dari gairah hidup kita dengan bermain tenis. Karena itu, pentingnya "melakukan" mulai memudar Ketika level kesadaran kita meningkat.
Ketika kita semakin dekat dengan kesadaran tentang "Siapa sejatinya" kita, maka "Siapa sejatinya" kitalah yang penting. Ketika hidup kita mengalami kemajuan, yang terpenting bagi kita adalah "menjadi seperti apa diri" kita.
"The only thing that is truly significant about today, or any other day, is who you become in the process" - Joshua Metcalf, Page 6, from the book "Chop Wood Carry Water".
Sunday, October 19, 2025
Bukan sekadar Perayaan Dragon Boat?
Kemarin pagi kami — delapan rekan agen asuransi dari beberapa kantor agency — berkumpul bersama untuk merayakan pencapaian MDRT, salah satu dari rekan kami dengan acara out-door dragon boat. Saya sendiri tiba dengan sedikit ekspektasi biasa, namun apa yang saya rasakan justru luar biasa: kebersamaan yang hangat, penuh tawa, dan semangat yang mengalir.
Kadang-kala saya mendapat pertanyaan dari mantan atasan saya di tempat kerja sebelumnya:
“Tri, benar nggak mau kembali kerja kantoran? Mau terus-terusan jadi agen? Kan income-nya nggak stabil?” Saya hanya tersenyum dan menjawab, “Tidak. Ini adalah profesi terakhir saya hingga pensiun.”
Mungkin banyak orang berpikir, kenapa saya memilih begitu? Berikut refleksi saya:
Pertama: Acara kemaren pagi adalah bukti nyata dari satu hal - kami sebagai agen asuransi bukanlah pesaing yang saling menjatuhkan — tetapi malah seprofesi yang mendukung satu sama lain. Dalam lingkungan kami tidak ada politik kantor yang menyita energi, melainkan berbagi tips, memberi semangat, dan saling mengapresiasi keberhasilan rekannya sendiri. Kebersamaan seperti ini memberi rasa punya “keluarga profesional”.
Kedua: Ya, benar — pendapatan sebagai agen asuransi memang tidak selalu bisa dijamin stabil seperti gaji tetap di perusahaan. Tapi bagi saya, “tidak stabil” tidak selalu berarti menurun — justru bisa berarti terus meningkat, mengikuti strategi dan kerja keras kita. Semua profesi pada dasarnya punya tantangan: siapa yang punya ambisi ingin tumbuh, siapa yang puas stagnan. Dalam profesi kami, kesempatan untuk tumbuh jelas ada—asal mau bergerak.
Ketiga (dan yang terpenting): Alasan atau misi yang Anda bawa dalam profesi itu yang membuat Anda bertahan. Tekanan, ketidakpastian, dan tantangan tetap ada — namun ketika misi Anda jelas (misalnya membantu orang melindungi keluarganya, memberi rasa aman, membangun kepercayaan), maka pekerjaan ini bukan hanya soal angka, melainkan soal nilai, soal kontribusi. Dan bagi saya — itu menjadi landasan bahwa profesi ini adalah pilihan yang tepat untuk jangka panjang.
Menjadi agen asuransi bagi saya lebih dari sekadar pekerjaan. Ini adalah cara untuk berbagi, tumbuh, dan memberi arti. Lingkungan yang suportif, peluang pertumbuhan yang nyata, dan misi yang lebih besar — itu yang membuat saya yakin profesi ini adalah tempat saya untuk terus berkembang hingga masa pensiun.
Kadang-kala saya mendapat pertanyaan dari mantan atasan saya di tempat kerja sebelumnya:
“Tri, benar nggak mau kembali kerja kantoran? Mau terus-terusan jadi agen? Kan income-nya nggak stabil?” Saya hanya tersenyum dan menjawab, “Tidak. Ini adalah profesi terakhir saya hingga pensiun.”
Mungkin banyak orang berpikir, kenapa saya memilih begitu? Berikut refleksi saya:
Pertama: Acara kemaren pagi adalah bukti nyata dari satu hal - kami sebagai agen asuransi bukanlah pesaing yang saling menjatuhkan — tetapi malah seprofesi yang mendukung satu sama lain. Dalam lingkungan kami tidak ada politik kantor yang menyita energi, melainkan berbagi tips, memberi semangat, dan saling mengapresiasi keberhasilan rekannya sendiri. Kebersamaan seperti ini memberi rasa punya “keluarga profesional”.
Kedua: Ya, benar — pendapatan sebagai agen asuransi memang tidak selalu bisa dijamin stabil seperti gaji tetap di perusahaan. Tapi bagi saya, “tidak stabil” tidak selalu berarti menurun — justru bisa berarti terus meningkat, mengikuti strategi dan kerja keras kita. Semua profesi pada dasarnya punya tantangan: siapa yang punya ambisi ingin tumbuh, siapa yang puas stagnan. Dalam profesi kami, kesempatan untuk tumbuh jelas ada—asal mau bergerak.
Ketiga (dan yang terpenting): Alasan atau misi yang Anda bawa dalam profesi itu yang membuat Anda bertahan. Tekanan, ketidakpastian, dan tantangan tetap ada — namun ketika misi Anda jelas (misalnya membantu orang melindungi keluarganya, memberi rasa aman, membangun kepercayaan), maka pekerjaan ini bukan hanya soal angka, melainkan soal nilai, soal kontribusi. Dan bagi saya — itu menjadi landasan bahwa profesi ini adalah pilihan yang tepat untuk jangka panjang.
Menjadi agen asuransi bagi saya lebih dari sekadar pekerjaan. Ini adalah cara untuk berbagi, tumbuh, dan memberi arti. Lingkungan yang suportif, peluang pertumbuhan yang nyata, dan misi yang lebih besar — itu yang membuat saya yakin profesi ini adalah tempat saya untuk terus berkembang hingga masa pensiun.
Sunday, October 12, 2025
Konsep Tentang Penuaan.
Konsep Tentang Penuaan - sebenarnya mulai terjadi dari pikiran. Masih ingat saya pernah membagikan satu buku berjudul "Healing and Recovery" oleh DR. David R. Hawkins? Tulisan berikut adalah saduran pemaparan tentang penuaan tersebut. "It's mind blowing" banget buat saya.
Medan energi tubuh sejatinya bersifat netral — tidak positif dan tidak pula negatif. Dalam keadaan ini, pikiran menjadi pengendali utama. Tubuh hanyalah cerminan dari apa yang diyakini pikiran, beroperasi pada medan energi di level tertentu, sekitar 200 (Angka Level Titik yang memisahkan Energi Positif dan Negatif). Karena itu, segala keyakinan, gagasan, pola pikir, dan skrip batin yang tertanam dalam pikiran, perlahan akan diterjemahkan tubuh ke dalam bentuk nyata: dalam cara kita bergerak, berbicara, bahkan dalam kondisi fisik yang kita alami.
Sayangnya, hanya sedikit yang menyadari bahwa berbagai konsep tentang kelemahan usia, penurunan kesehatan, dan keterbatasan fisik sesungguhnya bukan berasal dari tubuh, melainkan dari pikiran yang mempercayainya. Tubuh adalah akibat, bukan penyebab, dan tunduk pada apa yang kita yakini dalam pikiran.
Ada satu contoh sederhana dari dunia klinis yang dapat membantu kita memahami hal ini. Bayangkan seorang pria tua yang tampak lemah memasuki sebuah ruangan. Dengan suara pelan ia berkata, “Apakah saya boleh duduk di sini?” Tubuhnya bergerak perlahan, seolah tenaga telah meninggalkannya. Namun ketika ia dihipnosis dan diberi sugesti bahwa dirinya berusia 35 tahun — lalu dibuat lupa akan sugesti tersebut — sesuatu yang menakjubkan terjadi.
Saat terbangun dan ditawari segelas air, ia menjawab dengan suara mantap, “Ya, saya ingin segelas air.” Ia bangkit, berjalan dengan langkah tegap menuju dispenser, menuangkan air ke gelas, dan kembali duduk dengan tenang. Lelaki tua yang tampak rapuh itu lenyap seketika, tergantikan oleh sosok yang lebih muda dan penuh vitalitas.
Kisah ini menunjukkan bahwa tubuh hanyalah cermin dari keyakinan pikiran. Pikiran yang percaya pada kelemahan akan memunculkan tubuh yang lemah. Pikiran yang dipenuhi ketakutan akan menjelmakan pengalaman yang menakutkan. Lelaki tua dalam kisah tadi memandang tubuhnya sebagai sesuatu yang rapuh, takut jatuh, takut tulangnya patah — dan tubuhnya pun merespons sesuai dengan keyakinan itu.
Begitulah kuatnya hubungan antara pikiran dan tubuh. Saat kita mulai mengubah cara berpikir, menanamkan keyakinan baru yang lebih tinggi, tubuh pun perlahan menyesuaikan diri. Dalam kesadaran itu, kita menemukan kembali bahwa energi sejati manusia bersifat netral dan dapat diarahkan — menuju kelemahan, atau menuju kekuatan. Pilihannya selalu ada di tangan kita.
Bagaimana menurut Anda dengan kutipan bacaan di atas?
PS: Photo bersama sahabat kecil saya, ketika kami masih SD, dan setelah selang 40 tahun kemudian. 😊 😄 😆
Medan energi tubuh sejatinya bersifat netral — tidak positif dan tidak pula negatif. Dalam keadaan ini, pikiran menjadi pengendali utama. Tubuh hanyalah cerminan dari apa yang diyakini pikiran, beroperasi pada medan energi di level tertentu, sekitar 200 (Angka Level Titik yang memisahkan Energi Positif dan Negatif). Karena itu, segala keyakinan, gagasan, pola pikir, dan skrip batin yang tertanam dalam pikiran, perlahan akan diterjemahkan tubuh ke dalam bentuk nyata: dalam cara kita bergerak, berbicara, bahkan dalam kondisi fisik yang kita alami.
Sayangnya, hanya sedikit yang menyadari bahwa berbagai konsep tentang kelemahan usia, penurunan kesehatan, dan keterbatasan fisik sesungguhnya bukan berasal dari tubuh, melainkan dari pikiran yang mempercayainya. Tubuh adalah akibat, bukan penyebab, dan tunduk pada apa yang kita yakini dalam pikiran.
Ada satu contoh sederhana dari dunia klinis yang dapat membantu kita memahami hal ini. Bayangkan seorang pria tua yang tampak lemah memasuki sebuah ruangan. Dengan suara pelan ia berkata, “Apakah saya boleh duduk di sini?” Tubuhnya bergerak perlahan, seolah tenaga telah meninggalkannya. Namun ketika ia dihipnosis dan diberi sugesti bahwa dirinya berusia 35 tahun — lalu dibuat lupa akan sugesti tersebut — sesuatu yang menakjubkan terjadi.
Saat terbangun dan ditawari segelas air, ia menjawab dengan suara mantap, “Ya, saya ingin segelas air.” Ia bangkit, berjalan dengan langkah tegap menuju dispenser, menuangkan air ke gelas, dan kembali duduk dengan tenang. Lelaki tua yang tampak rapuh itu lenyap seketika, tergantikan oleh sosok yang lebih muda dan penuh vitalitas.
Kisah ini menunjukkan bahwa tubuh hanyalah cermin dari keyakinan pikiran. Pikiran yang percaya pada kelemahan akan memunculkan tubuh yang lemah. Pikiran yang dipenuhi ketakutan akan menjelmakan pengalaman yang menakutkan. Lelaki tua dalam kisah tadi memandang tubuhnya sebagai sesuatu yang rapuh, takut jatuh, takut tulangnya patah — dan tubuhnya pun merespons sesuai dengan keyakinan itu.
Begitulah kuatnya hubungan antara pikiran dan tubuh. Saat kita mulai mengubah cara berpikir, menanamkan keyakinan baru yang lebih tinggi, tubuh pun perlahan menyesuaikan diri. Dalam kesadaran itu, kita menemukan kembali bahwa energi sejati manusia bersifat netral dan dapat diarahkan — menuju kelemahan, atau menuju kekuatan. Pilihannya selalu ada di tangan kita.
Bagaimana menurut Anda dengan kutipan bacaan di atas?
PS: Photo bersama sahabat kecil saya, ketika kami masih SD, dan setelah selang 40 tahun kemudian. 😊 😄 😆
Subscribe to:
Comments (Atom)






