Kemarin pagi kami — delapan rekan agen asuransi dari beberapa kantor agency — berkumpul bersama untuk merayakan pencapaian MDRT, salah satu dari rekan kami dengan acara out-door dragon boat. Saya sendiri tiba dengan sedikit ekspektasi biasa, namun apa yang saya rasakan justru luar biasa: kebersamaan yang hangat, penuh tawa, dan semangat yang mengalir.
Kadang-kala saya mendapat pertanyaan dari mantan atasan saya di tempat kerja sebelumnya:
“Tri, benar nggak mau kembali kerja kantoran? Mau terus-terusan jadi agen? Kan income-nya nggak stabil?”
Saya hanya tersenyum dan menjawab, “Tidak. Ini adalah profesi terakhir saya hingga pensiun.”
Mungkin banyak orang berpikir, kenapa saya memilih begitu? Berikut refleksi saya:
Pertama: Acara kemaren pagi adalah bukti nyata dari satu hal - kami sebagai agen asuransi bukanlah pesaing yang saling menjatuhkan — tetapi malah seprofesi yang mendukung satu sama lain. Dalam lingkungan kami tidak ada politik kantor yang menyita energi, melainkan berbagi tips, memberi semangat, dan saling mengapresiasi keberhasilan rekannya sendiri. Kebersamaan seperti ini memberi rasa punya “keluarga profesional”.
Kedua: Ya, benar — pendapatan sebagai agen asuransi memang tidak selalu bisa dijamin stabil seperti gaji tetap di perusahaan. Tapi bagi saya, “tidak stabil” tidak selalu berarti menurun — justru bisa berarti terus meningkat, mengikuti strategi dan kerja keras kita. Semua profesi pada dasarnya punya tantangan: siapa yang punya ambisi ingin tumbuh, siapa yang puas stagnan. Dalam profesi kami, kesempatan untuk tumbuh jelas ada—asal mau bergerak.
Ketiga (dan yang terpenting): Alasan atau misi yang Anda bawa dalam profesi itu yang membuat Anda bertahan. Tekanan, ketidakpastian, dan tantangan tetap ada — namun ketika misi Anda jelas (misalnya membantu orang melindungi keluarganya, memberi rasa aman, membangun kepercayaan), maka pekerjaan ini bukan hanya soal angka, melainkan soal nilai, soal kontribusi. Dan bagi saya — itu menjadi landasan bahwa profesi ini adalah pilihan yang tepat untuk jangka panjang.
Menjadi agen asuransi bagi saya lebih dari sekadar pekerjaan. Ini adalah cara untuk berbagi, tumbuh, dan memberi arti. Lingkungan yang suportif, peluang pertumbuhan yang nyata, dan misi yang lebih besar — itu yang membuat saya yakin profesi ini adalah tempat saya untuk terus berkembang hingga masa pensiun.
Sunday, October 19, 2025
Sunday, October 12, 2025
Konsep Tentang Penuaan.
Konsep Tentang Penuaan - sebenarnya mulai terjadi dari pikiran. Masih ingat saya pernah membagikan satu buku berjudul "Healing and Recovery" oleh DR. David R. Hawkins? Tulisan berikut adalah saduran pemaparan tentang penuaan tersebut. "It's mind blowing" banget buat saya.
Medan energi tubuh sejatinya bersifat netral — tidak positif dan tidak pula negatif. Dalam keadaan ini, pikiran menjadi pengendali utama. Tubuh hanyalah cerminan dari apa yang diyakini pikiran, beroperasi pada medan energi di level tertentu, sekitar 200 (Angka Level Titik yang memisahkan Energi Positif dan Negatif). Karena itu, segala keyakinan, gagasan, pola pikir, dan skrip batin yang tertanam dalam pikiran, perlahan akan diterjemahkan tubuh ke dalam bentuk nyata: dalam cara kita bergerak, berbicara, bahkan dalam kondisi fisik yang kita alami.
Sayangnya, hanya sedikit yang menyadari bahwa berbagai konsep tentang kelemahan usia, penurunan kesehatan, dan keterbatasan fisik sesungguhnya bukan berasal dari tubuh, melainkan dari pikiran yang mempercayainya. Tubuh adalah akibat, bukan penyebab, dan tunduk pada apa yang kita yakini dalam pikiran.
Ada satu contoh sederhana dari dunia klinis yang dapat membantu kita memahami hal ini. Bayangkan seorang pria tua yang tampak lemah memasuki sebuah ruangan. Dengan suara pelan ia berkata, “Apakah saya boleh duduk di sini?” Tubuhnya bergerak perlahan, seolah tenaga telah meninggalkannya. Namun ketika ia dihipnosis dan diberi sugesti bahwa dirinya berusia 35 tahun — lalu dibuat lupa akan sugesti tersebut — sesuatu yang menakjubkan terjadi.
Saat terbangun dan ditawari segelas air, ia menjawab dengan suara mantap, “Ya, saya ingin segelas air.” Ia bangkit, berjalan dengan langkah tegap menuju dispenser, menuangkan air ke gelas, dan kembali duduk dengan tenang. Lelaki tua yang tampak rapuh itu lenyap seketika, tergantikan oleh sosok yang lebih muda dan penuh vitalitas.
Kisah ini menunjukkan bahwa tubuh hanyalah cermin dari keyakinan pikiran. Pikiran yang percaya pada kelemahan akan memunculkan tubuh yang lemah. Pikiran yang dipenuhi ketakutan akan menjelmakan pengalaman yang menakutkan. Lelaki tua dalam kisah tadi memandang tubuhnya sebagai sesuatu yang rapuh, takut jatuh, takut tulangnya patah — dan tubuhnya pun merespons sesuai dengan keyakinan itu.
Begitulah kuatnya hubungan antara pikiran dan tubuh. Saat kita mulai mengubah cara berpikir, menanamkan keyakinan baru yang lebih tinggi, tubuh pun perlahan menyesuaikan diri. Dalam kesadaran itu, kita menemukan kembali bahwa energi sejati manusia bersifat netral dan dapat diarahkan — menuju kelemahan, atau menuju kekuatan. Pilihannya selalu ada di tangan kita.
Bagaimana menurut Anda dengan kutipan bacaan di atas?
PS: Photo bersama sahabat kecil saya, ketika kami masih SD, dan setelah selang 40 tahun kemudian. 😊 😄 😆
Medan energi tubuh sejatinya bersifat netral — tidak positif dan tidak pula negatif. Dalam keadaan ini, pikiran menjadi pengendali utama. Tubuh hanyalah cerminan dari apa yang diyakini pikiran, beroperasi pada medan energi di level tertentu, sekitar 200 (Angka Level Titik yang memisahkan Energi Positif dan Negatif). Karena itu, segala keyakinan, gagasan, pola pikir, dan skrip batin yang tertanam dalam pikiran, perlahan akan diterjemahkan tubuh ke dalam bentuk nyata: dalam cara kita bergerak, berbicara, bahkan dalam kondisi fisik yang kita alami.
Sayangnya, hanya sedikit yang menyadari bahwa berbagai konsep tentang kelemahan usia, penurunan kesehatan, dan keterbatasan fisik sesungguhnya bukan berasal dari tubuh, melainkan dari pikiran yang mempercayainya. Tubuh adalah akibat, bukan penyebab, dan tunduk pada apa yang kita yakini dalam pikiran.
Ada satu contoh sederhana dari dunia klinis yang dapat membantu kita memahami hal ini. Bayangkan seorang pria tua yang tampak lemah memasuki sebuah ruangan. Dengan suara pelan ia berkata, “Apakah saya boleh duduk di sini?” Tubuhnya bergerak perlahan, seolah tenaga telah meninggalkannya. Namun ketika ia dihipnosis dan diberi sugesti bahwa dirinya berusia 35 tahun — lalu dibuat lupa akan sugesti tersebut — sesuatu yang menakjubkan terjadi.
Saat terbangun dan ditawari segelas air, ia menjawab dengan suara mantap, “Ya, saya ingin segelas air.” Ia bangkit, berjalan dengan langkah tegap menuju dispenser, menuangkan air ke gelas, dan kembali duduk dengan tenang. Lelaki tua yang tampak rapuh itu lenyap seketika, tergantikan oleh sosok yang lebih muda dan penuh vitalitas.
Kisah ini menunjukkan bahwa tubuh hanyalah cermin dari keyakinan pikiran. Pikiran yang percaya pada kelemahan akan memunculkan tubuh yang lemah. Pikiran yang dipenuhi ketakutan akan menjelmakan pengalaman yang menakutkan. Lelaki tua dalam kisah tadi memandang tubuhnya sebagai sesuatu yang rapuh, takut jatuh, takut tulangnya patah — dan tubuhnya pun merespons sesuai dengan keyakinan itu.
Begitulah kuatnya hubungan antara pikiran dan tubuh. Saat kita mulai mengubah cara berpikir, menanamkan keyakinan baru yang lebih tinggi, tubuh pun perlahan menyesuaikan diri. Dalam kesadaran itu, kita menemukan kembali bahwa energi sejati manusia bersifat netral dan dapat diarahkan — menuju kelemahan, atau menuju kekuatan. Pilihannya selalu ada di tangan kita.
Bagaimana menurut Anda dengan kutipan bacaan di atas?
PS: Photo bersama sahabat kecil saya, ketika kami masih SD, dan setelah selang 40 tahun kemudian. 😊 😄 😆
Sunday, October 05, 2025
Usia Hanyalah Angka: Warisan Inspiratif.
Foto ini bercerita lebih dari sekadar seorang pria yang berjalan pulang. Ia adalah ayah saya, berusia 82 tahun, baru saja menyelesaikan sesi latihan basket.
Bayangkan itu sejenak: 82 tahun. Bukannya duduk di kursi malas, beliau memegang bola oranye yang telah menjadi saksi bisu semangatnya. Punggung yang tegap, langkah yang mantap—beliau membawa pulang bukan hanya bola, tetapi sebuah pesan kuat untuk kita semua, yang mungkin setengah usianya, dan sedang merasa lelah atau kehilangan motivasi.
Kisah Ayah saya bukan hanya tentang ketahanan fisik. Ini adalah tentang semangat hidup yang menolak untuk menua.
Di usianya yang senja, beliau adalah definisi dari hidup yang aktif dan mandiri. Beliau tidak hanya aktif berolahraga (basket, lho!), tetapi juga:
Pesan untuk Generasi Muda: Jangan Tunggu Hari Esok! Kepada kalian yang energinya masih melimpah, ingatlah ini: Jangan biarkan usia muda menjadi penghalang untuk memulai kebiasaan baik.
1. Bergerak dan Bertahan (The Power of Persistence)
Melihat Ayah saya memegang bola basket, saya teringat bahwa konsistensi mengalahkan intensitas. Beliau tidak harus menjadi atlet profesional, tetapi beliau memilih untuk tetap bergerak.
Pelajaran: Fisik yang sehat adalah modal utama untuk pikiran yang jernih. Mulailah hari ini, meski hanya 15 menit berjalan kaki atau latihan ringan. Jangan jadikan rutinitas yang monoton sebagai alasan untuk berhenti peduli pada kesehatanmu.
2. Jangan Berhenti Belajar (The Endless Curiosity)
Bermain musik seperti harmonika dan angklung menunjukkan bahwa beliau tidak pernah berhenti belajar dan bereksplorasi. Otaknya terus diasah, koneksi sosialnya terus terjalin.
Pelajaran: Setelah lulus kuliah atau setelah mendapatkan pekerjaan mapan, jangan pernah berpikir 'selesai'. Cari hobi baru, pelajari skill baru. Ini adalah cara terbaik untuk menjaga mentalmu tetap muda dan relevan, jauh melampaui usia kronologismu.
3. Kemandirian dan Kegembiraan (Self-Reliance & Joy)
Memasak, bermain musik, berolahraga—semua dilakukan dengan kemauan dan gairah. Beliau memilih untuk mandiri dan mengisi hidupnya dengan hal-hal yang membahagiakan.
Pelajaran: Jangan serahkan kebahagiaan dan kesehatanmu sepenuhnya pada orang lain. Ambillah kendali atas hidupmu. Temukan hal-hal yang membuatmu bersemangat dan kejarlah itu dengan sepenuh hati, tanpa memandang usia.
Ayah saya adalah sebuah janji. Janji bahwa kita bisa menua tanpa harus menjadi pasif. Janji bahwa waktu luang bukanlah waktu untuk berdiam diri, melainkan panggung baru untuk mengejar gairah.
Jika seorang pria berusia 82 tahun masih bisa berlari dan menembak bola basket, apa yang menghalangimu untuk mengejar mimpimu, hari ini juga?
Semangat beliau adalah legacy yang sesungguhnya. Mari kita jadikan legacy ini sebagai alarm kita: Hidup ini terlalu berharga untuk diisi dengan kemalasan. Mari bergerak!
Bayangkan itu sejenak: 82 tahun. Bukannya duduk di kursi malas, beliau memegang bola oranye yang telah menjadi saksi bisu semangatnya. Punggung yang tegap, langkah yang mantap—beliau membawa pulang bukan hanya bola, tetapi sebuah pesan kuat untuk kita semua, yang mungkin setengah usianya, dan sedang merasa lelah atau kehilangan motivasi.
Kisah Ayah saya bukan hanya tentang ketahanan fisik. Ini adalah tentang semangat hidup yang menolak untuk menua.
Di usianya yang senja, beliau adalah definisi dari hidup yang aktif dan mandiri. Beliau tidak hanya aktif berolahraga (basket, lho!), tetapi juga:
- Juru Masak Sejati: Memasak sendiri santapannya, sebuah bukti kemandirian dan perhatian pada kesehatan.
- Musisi Berjiwa Muda: Bermain musik seperti harmonika dan angklung, menjaga pikiran tetap tajam dan jiwa tetap berirama.
- Menulis Kaligrafi: Keterampilan yang terus dilakukan dalam kemampuan berbahasa dan sastra Mandarin
Pesan untuk Generasi Muda: Jangan Tunggu Hari Esok! Kepada kalian yang energinya masih melimpah, ingatlah ini: Jangan biarkan usia muda menjadi penghalang untuk memulai kebiasaan baik.
1. Bergerak dan Bertahan (The Power of Persistence)
Melihat Ayah saya memegang bola basket, saya teringat bahwa konsistensi mengalahkan intensitas. Beliau tidak harus menjadi atlet profesional, tetapi beliau memilih untuk tetap bergerak.
Pelajaran: Fisik yang sehat adalah modal utama untuk pikiran yang jernih. Mulailah hari ini, meski hanya 15 menit berjalan kaki atau latihan ringan. Jangan jadikan rutinitas yang monoton sebagai alasan untuk berhenti peduli pada kesehatanmu.
2. Jangan Berhenti Belajar (The Endless Curiosity)
Bermain musik seperti harmonika dan angklung menunjukkan bahwa beliau tidak pernah berhenti belajar dan bereksplorasi. Otaknya terus diasah, koneksi sosialnya terus terjalin.
Pelajaran: Setelah lulus kuliah atau setelah mendapatkan pekerjaan mapan, jangan pernah berpikir 'selesai'. Cari hobi baru, pelajari skill baru. Ini adalah cara terbaik untuk menjaga mentalmu tetap muda dan relevan, jauh melampaui usia kronologismu.
3. Kemandirian dan Kegembiraan (Self-Reliance & Joy)
Memasak, bermain musik, berolahraga—semua dilakukan dengan kemauan dan gairah. Beliau memilih untuk mandiri dan mengisi hidupnya dengan hal-hal yang membahagiakan.
Pelajaran: Jangan serahkan kebahagiaan dan kesehatanmu sepenuhnya pada orang lain. Ambillah kendali atas hidupmu. Temukan hal-hal yang membuatmu bersemangat dan kejarlah itu dengan sepenuh hati, tanpa memandang usia.
Ayah saya adalah sebuah janji. Janji bahwa kita bisa menua tanpa harus menjadi pasif. Janji bahwa waktu luang bukanlah waktu untuk berdiam diri, melainkan panggung baru untuk mengejar gairah.
Jika seorang pria berusia 82 tahun masih bisa berlari dan menembak bola basket, apa yang menghalangimu untuk mengejar mimpimu, hari ini juga?
Semangat beliau adalah legacy yang sesungguhnya. Mari kita jadikan legacy ini sebagai alarm kita: Hidup ini terlalu berharga untuk diisi dengan kemalasan. Mari bergerak!
Subscribe to:
Comments (Atom)


