Pernahkah Anda mendengar kalimat ini: "Kamu single, kamu punya banyak waktu. Jadi, kamu bisa melakukan ini dan itu..."?
Bagi sebagian orang, kalimat itu terasa seperti sindiran halus. Seolah-olah, status "single" secara otomatis berarti Anda memiliki banyak ruang kosong dalam hidup Anda. Padahal, kenyataannya jauh lebih kompleks dari itu. Saya mengerti perasaan itu, karena saya pun merasakannya. Hidup saya tidak pernah sesantai yang orang lain bayangkan.
Sebagai seorang agen asuransi, saya mengelola karir yang menuntut fleksibilitas dan dedikasi tinggi. Di sisi lain, saya juga memiliki tanggung jawab pribadi yang tak bisa diabaikan—terutama merawat orang tua saya, yang meskipun sehat, tetap membutuhkan perhatian.
Ada satu rutinitas yang selalu menjadi prioritas utama: mengantar papa saya latihan angklung setiap Kamis di gereja. Sering kali, jadwal ini berbenturan dengan janji temu penting bersama calon nasabah. Saat itu terjadi, saya selalu dihadapkan pada pilihan sulit. Apakah saya harus membatalkan janji dengan nasabah yang potensial, atau membiarkan papa saya pergi sendiri dan kehilangan momen berharga ini?
Pilihan yang Mengubah Masa Depan
Di tengah kebimbangan itu, saya selalu mengajukan pertanyaan sederhana pada diri sendiri: "Sepuluh tahun dari sekarang, apakah saya akan menyesal jika tidak melakukan rutinitas ini?"
Jawabannya selalu sama: 100% ya.
Momen-momen bersama papa jauh lebih berharga daripada janji temu yang bisa diatur ulang. Saya belajar untuk menata kembali jadwal saya, meskipun terkadang harus mengecewakan pihak lain. Bukan karena saya tidak serius dengan pekerjaan, tetapi karena saya tahu, prioritas mana yang akan membawa kebahagiaan sejati.
Sering kali, pekerjaan terasa begitu mendesak. Kita merasa harus selalu tersedia, membalas email, dan menjawab telepon setiap saat. Namun, coba renungkan: sepuluh tahun dari sekarang, akankah kita mengingat semua detail pekerjaan itu? Siapa saja yang kita temui, email apa yang kita kirim? Mungkin tidak.
Yang akan selalu kita ingat adalah momen-momen intim bersama orang terkasih. Saya tahu, sepuluh tahun dari sekarang, saya akan selalu mengenang bagaimana saya mengantar papa ke gereja dan melihat senyumnya saat beraktivitas. Momen itu jauh lebih berharga daripada janji temu yang terlewat.
Momen ini membuat saya menyadari satu hal. Saat dihadapkan pada persimpangan antara karir dan keluarga, saya selalu bertanya pada diri sendiri: "Pilihan mana yang bisa membuat saya bahagia di masa depan?"
Pertanyaan ini menjadi kompas hidup saya. Prioritas bukan hanya soal mana yang paling mendesak, tetapi mana yang paling bermakna.
Semoga bagi Anda yang mengalami hal serupa, pertanyaan sederhana ini bisa menjadi pengingat. Hidup bukan hanya tentang mengejar target, tetapi juga tentang menciptakan kenangan yang akan bertahan selamanya.